Wednesday 13 February 2013

Eloknya Pesisir Pantai Barat Sumatera, Mengintip Kejayaan Masa Silam

Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, memainkan peran sunyi sebagai penjaga bangkai kapal yang diduga sebagai Boelongan. Pada masa lampau, kawasan perairan itu termasuk bagian lintasan pelayaran pantai barat Sumatera yang sibuk.

Daerah tersebut ada sebuah kawasan perairan, namanya Teluk Mandeh berjarak sekitar 70 kilometer (km) arah selatan Kota Padang. Lokasi itu dikelilingi sejumlah pulau kecil, yang menjadikannya salah satu tempat perlindungan, yang ideal dari ganasnya Samudra Hindia. Hal ini terutama terjadi ketika kawasan pantai barat Sumatera menjadi sangat ramai hingga akhir abad ke-19. Saat itu kapal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang berkuasa sejak tahun 1660 hilir mudik membawa beragam komoditas.



Sejarawan Universitas Andalas, Padang, Prof Dr Gusti Asnan, mengatakan, kesibukan itu terekam dalam catatan Belanda mengenai kapal yang karam di sepanjang kawasan itu. Kapal dagang VOC dan kapal niaga milik pribumi yang berasal dari tahun 1970-an hingga 1900-an, imbuh Gusti, tenggelam antara Padang dan Inderapura di Kabupaten Pesisir Selatan kini.


Dalam buku berjudul Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera yang ditulis Gusti Asnan (Juli, 2007), wilayah itu secara administratif disebut Gouvernenment Sumatra’s Westkust. Kawasan itu aktif sejak 1819 hingga 1906 dengan wilayah dari Inderapura di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, hingga Singkil di Aceh. Disebutkan, kegiatan perdagangan dan pelayaran di pantai barat Sumatera pada masa Hindia Belanda mencapai puncaknya hingga akhir abad ke-19.

Sejumlah komoditas penting yang diekspor dari kawasan ini adalah kopi, kapur barus (kamper), kemenyan, lada, beras, kayu manis, gambir, kulit hewan ternak, getah karet, minyak kelapa, dan kopra. Adapun komoditas impor mencakup kain, garam, dan opium. Titik pusat keramaian perdagangan dan pelayaran di kawasan itu adalah Padang. Hal ini diwujudkan dengan pembangunan pelabuhan di Padang sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20.



Wujudnya mulai pelabuhan alam di Teluk Air Manis dan reede (pelabuhan berlindung dan berlabuh kapal besar) di Pulau Pisang Gadang yang bergandeng fungsinya dengan Pelabuhan Muaro. Reede Pulau Pisang Gadang masih tampak jejak kebesarannya. Di sejumlah bagian pulau itu masih terdapat makam dengan nisan bertuliskan bahasa Belanda, mengenai orang yang dikuburkan. Selain itu, peninggalan berupa struktur dermaga, yang tersusun dari sedikitnya sembilan batang besi kokoh terlihat menonjol di salah satu sisi pulau.

Mulai redup


Namun, imbuh Gusti, sejak akhir abad ke-19 cahaya keemasan di pantai barat Sumatera mulai meredup. Ini seiring dihasilkannya beragam komoditas ekspor dari pantai timur Sumatera yang sangat dibutuhkan dunia ketika itu. Juga menyusul berakhirnya masa lada dan emas di pantai barat Sumatera, serta relatif tidak dibutuhkannya lagi sejumlah komoditas ”kuno”, seperti kapur barus dan kemenyan oleh pasar internasional.



Pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) pada 1880 dilakukan di tengah masa meredupnya era keemasan itu. Gusti Asnan dalam tulisan berjudul Pelabuhan-Pelabuhan Kota Padang Tempo Doeloe di buletin arkeologi Amoghapasa edisi 13 tahun XV/Juni 2009, yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, menyebutkan, inilah klimaks pembangunan pelabuhan di Padang.

Dalam tulisan itu, Gusti menyebutkan, Teluk Bayur dibangun sebagai pelabuhan tercanggih di Asia Tenggara pada masanya untuk melayani kebutuhan transportasi batubara dari Ombilin, Sawahlunto, yang mulai ditambang Belanda pada pengujung abad ke-19. Tak lama setelah Teluk Bayur, Pelabuhan Sabang di Aceh dibuka pula sebagai depot pengisian batubara. Ini ditambah dengan pelabuhan Belawan di Sumatera Utara yang dioperasikan melayani sibuknya perniagaan di Medan.

Sejak tahun 1920-an, aktivitas perekonomian di pantai barat Sumatera dengan Padang sebagai episentrumnya semakin meredup dan hingga saat ini belum kembali terang. Selain karena makin sedikitnya volume ekspor dan impor, hal itu tak lepas dari kehadiran transportasi darat (sejak 1915) dan pesawat udara (mulai 1935).

Berdasarkan data PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Teluk Bayur, sepanjang tahun 2008 hingga 2011 tercatat penurunan jumlah kunjungan kapal ke Pelabuhan Teluk Bayur. Pada 2008 tercatat 2.944 unit, 2.591 unit pada 2009, 2.246 unit pada tahun 2010, dan 2.067 unit tahun 2011. Namun, di sisi lain, arus barang justru mengalami kenaikan, terutama sejak periode tahun 2009 hingga 2011. Pada 2009 tercatat arus barang sebanyak 10.076 ton, 11.419 ton pada 2010, dan 13.467 ton pada 2011.

Menurut Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Teluk Bayur Andi Agus Yahya, berkurangnya kunjungan kapal itu tidak lepas dari krisis finansial yang menghantam sebagian negara Eropa. ”Kunjungan kapal berkurang, tetapi kuantitas barang meningkat karena kapal yang masuk berukuran besar,” ujar Andi.


Persaingan Jepang

Di sisi lain, papar Gusti, Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM) mulai mengadakan kapal secara besar-besaran pada tahun 1920-an. KPM merupakan salah satu perusahaan yang disubsidi Pemerintah Hindia Belanda dan beroleh hak eksklusif melayani transportasi laut di seluruh Indonesia. Boelongan adalah salah satu kapal KPM yang dibuat pada masa itu. Boelongan adalah kapal dagang bermesin diesel yang dibuat pada 1915 di galangan Gebroeders Pot NV di Bolnes, Belanda.

Menurut Gusti, pengadaan kapal secara besar-besaran dilakukan KPM guna mengatasi persaingan dengan perusahaan pelayaran Jepang yang menawarkan tarif lebih murah. Dalam buku Penetrasi Lewat Laut Kapal-Kapal Jepang di Indonesia Sebelum 1942, Gusti (2011) menulis, kapal Jepang pascaretorasi Meiji mulai masuk ke pelabuhan Nusantara pada 1890.

Tarif murah perusahaan pelayaran Jepang itu, imbuh Gusti, ditawarkan dalam pelayaran trans-Atlantik yang menjelajahi bagian barat hingga timur Nusantara untuk terus ke Yokohama, Jepang. Tahun 1920-an hingga 1930-an masuk sekira 300 kapal Jepang per tahun ke perairan Nusantara yang diperkirakan datang dari Singapura.


Gusti menambahkan, sekalipun pada 1920-an kemunduran hebat melanda aktivitas perekonomian pantai barat Sumatera, KPM tetap hadir melayari rute sepanjang kawasan itu. ”KPM berperan sebagai ”pembentuk negara,” sama seperti peran TVRI dan RRI waktu Orde Baru yang mempersatukan Indonesia. Sekalipun jalur pelayaran itu kurus tetap harus dikunjungi dengan subsidi dari penghasilan di jalur gemuk,” ujarnya.

Sejarawan dari Universitas Negeri Padang, Prof Dr Mestika Zed, menambahkan, pantai barat Sumatera tetap dianggap penting pada masa itu, antara lain sebagai titik pemberangkatan jemaah calon haji. ”Pantai barat juga tetap penting untuk rute Belanda ke Eropa,” katanya.

Oleh karena itu, keputusan kapten Boelongan ML Berveling mengarahkan kapalnya ke Teluk Mandeh untuk menghindari serangan Jepang pada 28 Januari 1942 bukan asal-asalan. Apalagi beberapa hari sebelumnya, Boeloengan juga diketahui berlindung di Teluk Dalam yang lebih dangkal dan masih bertetangga dengan Teluk Mandeh.



Tindakan Berveling hampir bisa dipastikan berdasarkan catatan pelayaran pada masa lampau mengenai lokasi itu. ”Logikanya, pasti ada peta wilayah kunjungan dan mana daerah yang bisa disinggahi untuk berlindung,” ujar Gusti.

Kini sebagian badan kapal dagang milik KPM itu terbenam lapisan sedimen pada kedalaman sekitar 20 meter di bawah muka air laut. Upaya konservasi untuk menyelamatkan bangkai Boelongan mulai dilakukan dengan meneliti penyebab utama sedimentasi.

Kepala Subseksi Pelayanan Teknis Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Nia Naelul Hasanah menyebutkan, bukan muskil seluruh badan Boelongan akan terbalut sedimen. Dan, bukti sejarah itu akan menjadi hilang.



source

No comments:

Post a Comment